document-lisence

seluruh dokumen di 'Jagad-seniRUPA' ini, dapat digunakan, dimodifikasi, dan disebarluaskan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan syarat tidak menghapus atau merubah atribut penulis dan tetap menyertakan sumber-nya.

Kamis, 19 Juli 2012

Drs. Suyadi

Mengapa Saya Melukis
oleh; Drs. Suyadi

Sering kali saya bertemu orang yang berkomentar seraya bertanya: “Oh pak Raden bisa melukis?” Setiap itu juga saya jawab bahwa saya cari makan lewat melukis dan menggambar.

Tari-Betawi




















Untuk menjawab pertanyaan mendasar mengapa saya melukis, saya sendiri tidak tahu. Hanya yang saya sadari, sedari dulu saya suka mencorat-coret. Bahkan, sejak saya masih kecil. Seingat saya, begitu saya sudah mampu memegang kapur atau arang, maka tembok dan lantai di rumah sudah penuh dengan coretan yang belum boleh disebut gambar.

Anehnya orang tua saya tidak pernah marah kalau saya mengotori lantai dan dinding dengan corat-coret yang tidak karuan itu. Mungkin inilah awal saya sebagai perupa.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Dalam perjalanan hidup saya, dari masa kecil hingga remaja yang ada hanyalah saya menggambar dan menggambar. Sedangkan melukis secara serius dengan media cat minyak dan kanvas, baru saya pelajari pada waktu saya mendapatkan pelajaran dari dosen saya Ries Mulder pada tahun 1953 di ITB jurusan Seni Rupa, sekarang bernama Fakultas Seni Rupa dan Desain.

Mungkin karena minat saya akan segala bentuk seni yang bercerita (naratif) seperti ilustrasi, animasi, pedalangan dan teater, maka hal ini terbawa dalam melukis. Pada umumnya lukisan saya bersifat naratif, selalu menceritakan kejadian, selalu saja ada dongengnya.

Dulu dosen seni lukis saya menamakan lukisan saya ‘literair’, terlalu asyik dengan bercerita, pada hal unsur-unsur seni rupa seperti: komposisi, bentuk, warna, garis dan ekspresi adalah yang utama, bukan dongengnya.

Tapi sekarang keadaannya lain. Mau apapun boleh. Karena sejak awal saya adalah ilustrator buku anak, sekaligus animator, juga menjadi dalang wayang kulit, seorang pembuat film boneka serta seorang penggemar wayang orang maka tema dari lukisan-lukisan saya selalu menceritakan sesuatu yang saya sukai.

Wayang, Karawitan, Tari, dan Animasi

Sementara ada orang yang menamakan lukisan saya sebagai ilustrasi dalam format besar. Apa salahnya? Asal saja ditekuni dengan rasa cinta.

Bukanlah suatu kebetulan bahwa orang tua saya dari kalangan Pangreh Prodjo (istilah untuk zaman sekarangnya pamong praja) yang sangat mencintai seni. Tentu saja seni Jawa. Maklumlah, seni Indonesia waktu itu belumlah populer. Orang tua saya keduanya penggemar tontonan wayang. Mereka rutin menonton pertunjukan wayang. Bahkan, ibu saya punya kebiasaan nonton wayang orang tiap malam minggu. Bayangkan, ini terjadi di tahun 30-an!

Saya masih ingat, sekali waktu rombongan wayang Ngesthi Pandowo dari Semarang yang waktu itu dipimpin oleh Ki Sastrosabdho, pemeran Petruk yang terkenal mengunjungi Surabaya, maka Ki Sastrosabdho menelpon ayah saya: “Nuwun sewu, mangke dalu panjenengan ngersaaken lampahan menopo? (Mohon maaf, nanti malam bapak menginginkan lakon apa?)”. Waktu itu ayah masih menjabat Patih di Surabaya.

Peristiwa 10 November 1945 membawa banyak perubahan. Perang yang berkecamuk di Surabaya memaksa kami sekeluarga mengungsi ke Madiun yang relatif masih aman. Letak kota Madiun yang begitu dekat dengan Solo menyebabkan seni karawitan, tari dan pedalangan berkiblat ke kota Solo. Dan di Madiun lah saya mulai menekuni bidang-bidang seni ini. Saya pun bergabung dengan perkumpulan Siswo Kusolo, sebuah perkumpulan kesenian untuk siswa dan pelajar.

Sesudah penyerahan kedaulatan di tahun 1949 kami kembali ke Surabaya. Sambil sekolah di V.H.O. (Voorbereidend Hoger Onderwijs), setaraf S.M.A. yang berbahasa pengantar bahasa Belanda, saya bergabung dengan kelompok perkumpulan tari dan karawitan Siswo Setyo Budoyo. Di saat ini saya mulai “memasarkan” karya ilustrasi saya ke majalah-majalah. Saya belum melukis, karya saya semua masih hitam-putih. Sampai akhirnya di tahun 1952 saya mendaftarkan diri ke ITB, Jurusan Seni Rupa, Bandung. Baru di sanalah saya berkenalan dengan kegiatan melukis.

Pelajaran melukis awalnya terasa membosankan: penuh teori dan dasar-dasar melukis. Juga temanya selalu alam benda (still life). Padahal saya menyukai gerak, sehingga saya lebih memfokuskan diri kepada ilustrasi, terutama ilustrasi untuk bacaan anak. Dan di Bandung inilah saya menjadi ilustrator tetap majalah Puspa Wanita.

Kalau ditanyakan pada saya siapakah idola saya, pasti saya jawab Walt Disney, Hans Christian Andersen dan Ki Nartosabdho. Walt Disney memberikan banyak kebahagiaan di waktu kecil; Andersen pendongeng yang luar biasa, sedangkan Ki Nartosabdho adalah dalang yang hebat. Ada dua hal yang memberikan kejutan dalam hidup saya. Pertama: waktu saya belajar mendalang dengan serius pada guru dalang dari Solo: Ki Slamet namanya. Saya terperangah ketika saya tahu bahwa dengan menggerakkan wayang secara benar maka wayang jadi hidup, seolah diberi bernyawa. Kejutan kedua: waktu pelajaran animasi di Paris. Dengan penuh keheranan saya menyaksikan gambar-gambar saya yang diperlakukan secara khusus menjadi hidup ketika disorotkan ke layar. Untuk diketahui saya pernah mendapat beasiswa Cooperation Technique tahun 1961-1964 dari pemerintah Perancis. Di Paris saya belajar di dua studio: yaitu Les Cinéastes Associés dan Les Films Martin-Boschet.

Selama di Paris saya sempat mendalang di KBRI pada perayaan 17 Agustus 1961. Juga di tempat-tempat lainnya, diantaranya gedung UNESCO dan Musée Guimet sebuah museum seni untuk Seni Asia Timur Jauh. Saya sempat mengajar memainkan gamelan kepada mahasiswa Indonesia dan anak-anak Perancis di kediaman R.M. Yodjana, seorang maestro tari dari Yogya yang bermukim di Paris.

Sepulangnya di Bandung di tahun 1964 saya sempat bekerja kembali di T.A.C. (Teaching Aids Centre), tempat pembuatan alat peraga untuk SD. Juga mengajar sebagai dosen untuk mata pelajaran ilustrasi di ITB Jurusan Seni Rupa. Waktu itu saya pakai juga untuk menulis buku untuk anak-anak yang ilustrasinya juga dari saya, terbitan PT. Djambatan. Disamping itu juga melayani pesanan film-film animasi pendek dari PENRA (Penerangan Rakyat), Kementrian Penerangan.

Dan proyek terakhir saya ialah film seri boneka Si Unyil, bekerja sama dengan Kurnain Suhardiman, produksi PFN, ditayangkan di TVRI sejak tahun 1981 hingga awal 1992.

Entah karena apa sejak menangani Si Unyil saya dijuluki pendongeng oleh anak-anak. Mungkin karena dalam film Si Unyil, tokoh boneka Pak Raden sering mendongeng. Tapi yang terang selama saya bergabung dengan KPBA (Kelompok Pencinta Bacaan Anak) yang di ketuai oleh DR. Murti Bunanta, S.S.-MA saya banyak mendongeng yang selalu saya lakukan sambil menggambar. Seperti yang saya lakukan waktu saya mendongeng di International Festival for Storytelling di Seattle, Amerika pada tahun 2002. Ini juga saya lakukan di anjungan Jawa Tengah TMII, atas anjuran dari Panitia Pekan Wayang (tahunnya saya lupa) saya mendongeng tentang wayang kepada anak-anak SD, judulnya “Petruk jadi Raja“. Cerita tersebut sudah dibukukan dan diterbitkan oleh KPBA.

Masih ada dua naskah lagi untuk memperkenalkan wayang kepada anak yaitu SUTI (atau: Kebakaran di Gedung Wayang Orang) dan TRIMO (atau: Bayang-bayang di Balik Layar). Buku yang pertama berisi perkenalan kepada wayang orang, sedangkan buku yang kedua perkenalan kepada wayang kulit. Saya sengaja membuat ilustrasinya hanya dengan warna hitam putih. Kedua-duanya sudah selesai naskah dan draft ilustrasinya. Semoga nanti ada yang berminat menerbitkannya.

Drs. Suyadi

Jakarta, Juni 2012

PS: Saya melukis dengan iringan rekaman Langendriyan, sebuah sendrasuara karya Sri Mangkunagoro IV.

Adegan Goro Goro

Srikandi Mustokoweni
















Srikandi-Mustokoweni

Sketsa 2

















Adegan-TamanSoka




Di Balik-Kelir




Tari-Tayub




Malam-Dangdutan




Sketsa-1




Sketsa-2



_____________________________
(sumber; DGI)

Artikel terkait; Panggung Kanvas: “Pameran Seni Rupa Drs Suyadi”

Senin, 16 Mei 2011

Leonardo da Vinci

Leonardo da Vinci


 

_____________________________________________________
(sumber; FB)

Kamis, 14 April 2011

Pameran Tunggal Pupuk-DP -- Cara Berpikir Lain


Pameran-Tunggal--Pupuk-DP
1530 April-2011
Bale-Tonggoh
Kurator: Jim Supangkat


Semua karya PUPUK-DP pada pameran ini merupakan ungkapan yang mencerminkan pergumulan pikiran yang merupakan persoalan personal. Ia selalu berangkat dari realitas di sekitarnya, khususnya realitas yang memprovokasi tubuhnya dan membangkitkan emosi. Namun pemikiran yang berkembang dari sini, selalu berakhir pada obsesinya memahami tegangan di antara ungkapan emosi dan pemikiran. Ini membuat representasi yang tampil pada karyanya membawa nilai-nilai umum.
Dua lukisannya pada pameran ini, Banteng di Kepalaku (2010) dan Pikiran Itu Sangat Liar (2010) bisa diangkat sebagai contoh. Lukisan-lukisan ini dibuat ketika PUPUK-DP mengalami gangguan-fisik pada 2010 lalu. Penglihatannya mengabur dan pendengarannya dibayangi denging kronis. Kondisi ini membangkitkan kecemasan padanya; bagiamana ia akan mengutarakan pikirannya bila ia tidak bisa lagi melukis dan membuat patung?  Kecemasan ini membangkitkan dorongan berkarya dan kondisi penglihatannya yang mengabur justru menghasilkan inovasi bahasa ungkapan; ia menghitamkan kanvas dan melukis dengan garis-garis putih—sejumlah lukisan charcoal pada pameran ini dikerjakan pada kondisi ini pula.  
Benang merah karya-karya PUPUK-DP terlihat pada lukisan-lukisan itu. Kondisi emosinya membuat ia terdorong untuk menegaskan sikapnya yang berpihak pada pemikiran-intuitif. Pada lukisan -- 'Banteng di Kepalaku', ia seperti mempersoalkan hubungan kondisi fisik (ada banteng yang mengobrak-abrik kondisi ini) dan produksi pikiran (digambarkan sebagai tabung memori pada otak yang mengeluarkan berbagai partikel)—bisa dibaca sebagai hubungan kerja saraf dengan kondisi kejiwaan. Pada lukisan, 'Pikiran Itu Sangat Liar', PUPUK-DP mencoba menggambarkan kerja otak yang kompleks. 
Gejala pada karya-karya PUPUK-DP itu menunjukkan tegangan dua pemikiran, yaitu pemikiran rasional-obyektif dan pemikiran intuitif-subyektif. Kesamaan di antara keduanya, sama-sama merupakan  upaya memahami realitas. Pertarungan yang bolak-balik dikemukakan PUPUK-DP, menunjukkan realitas yang dihadapinya bukan 'kertas-putih' yang membuka ruang bagi siapa pun untuk 'membuat-catatan'.
Hampir semua aspek dalam kenyataan yang dihadapinya sudah terkonsep secara rasional (berdasarkan ilmu pengetahuan) dan menyediakan pemahaman. Kendati ada dorongan kuat pada PUPUK-DP untuk 'membuat-catatan' ia merasa tidak ada lagi ruang untuk melakukannya. Semua hal pada realitas sudah 'diduduki' pemahaman-pemahaman yang terasa benar karena terbukti secara obyektif. Pemahaman-pemahaman ini membuat realitas terasa menindas karena membuat setiap orang menyangkal persepsinya sendiri tentang segala hal.  PUPUK-DP akhirnya toh 'membuat-catatan' dan menabrak kebingungan ini. Inilah benang merah pada ungkapan-ungkapannya.

Jim-Supangkat -- Kurator-Pameran.

________________________________

Sabtu, 26 Juni 2010

pasir

LUKISAN dengan media PASIR
(dari Mojopuro--Wuryantoro--Wonogiri--Jawa-Tengah--Indonesia)



Ketika Wawasan datang ke rumahnya, nampak jelas bahwa rumah yang terbuat dari papan jati tersebut, ditempati oleh seorang pelukis. Di ruang tamu, sejumlah lukisan dipajang. Selain itu ada beberapa bingkai lukisan yang dikemas di plastik karena tidak kebagian tempat. Lukisan yang paling dominan adalah lukisan Presiden Ir Soekarno. Lukisan itu berukuran 70 X 85 Cm. Di sebelahnya terdapat lukisan ”simbok”, yang menggambarkan seorang tua tengah berada di dapur memasak menggunakan tungku.
Lukisan-lukisan tersebut bila diamati dengan seksama tidak sama dengan lukisan pada umumnya. Lukisan produk Alit tidaklah menggunakan cat warna, semuanya menggunakan bahan-bahan dari alam. Untuk memainkan warna lukisan, Alit menggunakan wahana pasir. Sedangkan perekatnya menggunakan getah mahoni.
aya mulai melakukan eksperiman melikis menggunakan pasir, pada tahun 1979 lalu. Namun ketika itu saya belum banyak menemukan warna, sehingga menemui banyak kendala ketika harus mencurahkan ide ke kanvas. Namun saya tidak menyerah. Saya terus berburu mencari warna-warna yang terdapat dalam pasir dan bebatuan. Akhirnya baru pada tahun 2008, saya menemukan warna putih, hijau, kuning dan putih mangkak” jelas Alit.
Seiring dengan perkembangan waktu, Alit kemudian menemukan warna-warna lain yang menjadi kebutuhannya dalam mengekspresikan karyanya. ”Tapi sampai sekarang saya belum menemukan warna biru” akunya.
Untuk mendapatkan bahan dasar lukisannya, Alit harus terlebih dahulu berburu pasir dan bebatuan. ”Karena saya pecinta alam, perburuan itu saya anggap tidaklah memberatkan. Walau untuk mendapatkan pasir hitam kaca dan coklat, saya harus menyusuri sungai Bengawan Solo. Sedangkan untuk yang hitam pekat harus mencari di pantai. Tak hanya itu, untuk mendapatkan warna hijau harus mencari batu di pegunungan dan itu tak mudah ditemukan. Yang mudah mencarinya adalah warna merah. Saya menggunakan roster (kerap digunakan untuk fentilasi), saya tumbuk halus” akunya.
Disinggung cara melukisnya, awalnya Alit malu-malu untuk menjelaskannya. Dia anggap itu merupakan rahasia dapurnya. Namun saat memperagakan cara melukis, Wawasan jadi sedikit jelas. Awalnya, Alit menorehkan lem yang berasal dari getah mahoni. Setelah itu, Alit mengambil warna yang dikehendaki dan ditaburkannya ke atas lem.
Setelah kering, kemudian menorehkan lem lagi dan ditaburi warna yang lainnya. Begitulah prosesnya.
”Saya lebih senang memainkan lukisan naturalis dan abstrak ekspresionis” kata Alit saambil tangannya asyik menaburkan pasir ke kanvas.
Alit mengaku senang menyelami lukisan dengan media pasir dan batu ini. ”Saya juga telah menggelar pameran tunggal di Taman Budaya Surakarta, tanggal 22-27 Desember 2009” katanya.

Kiriman Pak Anto Rusmanto
Jatibening Bekasi
___________________________________________
(sumber; Komunitas Wuryantoro di Internet)

Minggu, 24 Mei 2009

lukisan dari abad 17 Getty museum LA

lukisan dari abad 17 Getty museum LA




_______________________________________________________________
(sumber; Rossa-Rosadi)




Selasa, 19 Mei 2009

PAMERAN SENI RUPA NUSANTARA 2009

PAMERAN SENI RUPA NUSANTARA 2009
"Menilik Akar"
Host:
Galeri Nasional Indonesia
Type:
Network:
Global
Start Time:
Tuesday, May 19, 2009 at 7:30pm
End Time:
Sunday, May 31, 2009 at 7:30pm
Location:
Galeri Nasional Indonesia
Street:
Jalan Medan Merdeka Timur 14
City/Town:
Jakarta, Indonesia

Phone:
02134833954
Email:


Description

Mengundang Anda untuk menghadiri

pembukaan Pameran Seni Rupa Nusantara 2009:

“MENILIK AKAR”



Selasa, 19 Mei 2009, pukul 19.00 wib

di Galeri Nasional Indonesia (GNI)

Jl. Medan Merdeka Timur No. 14

Jakarta Pusat 10110

(www.galeri-nasional.or.id)



Pameran akan dibuka oleh:

Bapak Ir. Jero Wacik, SE

(Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI)



Rangkaian Acara:



Selasa, 19 Mei 2009 Pukul 19.30 WIB

Pembukaan Pameran; Peresmian Ruang Audio-Visual;

Penyerahan Hibah Lukisan karya kolektif Sanggar Bumi Tarung

Rabu, 20 Mei 2009 Pukul 10.00 WIB
Diskusi: SENI RUPA SEBAGAI KARIER:

MENEROPONG PERUPA MUDA INDONESIA
Pembicara: Alia Swastika, Kuss Indarto,

Penanggap: Rizki A. Zaelani
(Kerjasama dengan Majalah VISUAL ARTS)

23-31 Mei 2009 pukul 11.00 dan 15.00 WIB
Penayangan Video Art (Video Screening)

(Kerjasama dengan RUANGRUPA)



Daftar Peserta

Pameran Seni Rupa Nusantara 2009:

"MENILIK AKAR"

ACEH: mahdi abdullah, BALI: antonius kho, i gusti putu hardana putra, i wayan sedanayasa, i wayan suardana, nyoman gunarsa, wayan dania, BANTEN: nikasius, rohadi, D.I. YOGYAKARTA: agung hanafi, agung santosa, agus putu suyadya, andris susilo, arlan kamil, farhan siki, hery sudiono, hidayat, i kadek agus ardika, ivan yulianto, kohar, prasetiyo yunianto, robert nasrullah, rocka radipa, sulistya hadi, susanto, vani h.r., ye agung, yun suroso, yulius heru prihono, DKI JAKARTA: ab soetikno, afriani, forum lenteng, m. rusnoto, nani sakri, syaiful ardianto, tato kastaredja, JAMBI besta, edy dharma, fauzi z., JAWA BARAT: agus djatnika, ali rubin, arivin yasonas, basuki bawono, danny irawan, evi muheryawan, khrisna, machfudz, rendra santara, toni antonius, yudi a.b., JAWA TENGAH: arif sulaiman, bambang hariyanto, daryono yunani, sedes art, soegeng tm, suitbertus sarwoko, susilo tomo, darus marchiano, JAWA TIMUR: ainur maryanto, djoeari soebardja, gusar suryanto, imron fatoni, ira sulistyawati, ivan hariyanto, miranti minggar triliani, ruslan, santoso prasetyo, KALIMANTAN BARAT: benyamin darmawan, KALIMANTAN SELATAN: sulistyono, kalimantan timur: cadio tarompo, sairi lumut, LAMPUNG: koliman, nurbaito, NTB: wayan geredeg, NTT: jacky lau, RIAU: reynaldi, kodri johan, julianto, zulamri, sulawesi SULAWESI SELATAN: mike turusy, SULAWESI UTARA: enoch saul, jimmy manus, SUMATRA BARAT: dwi oon agustyono, randi pratama, zikri, iswandi, SUMATRA SELATAN: edy fahyuni, SUMATRA UTARA: endra, lenny pasaribu, sahala, yoesafrizal, PESERTA UNDANGAN: alfi luviani, awi ibanesta, besta, donny kurniawan, endang lestari, endra, herlambang bayuaji “gundul”, ismanto, irawan banuaji, wilman syahnur

Minggu, 17 Mei 2009

vanessa-ariati--jagad-lukis

jagad-lukis
Vanessa-Ariati









selengkapnya................................